Pembunuh Munir Bebas

Jalani Hukuman Delapan Tahun 


JAKARTA, Spirit 
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham),  Yasonna Laoly mengatakan, pemberian bebas bersyarat terhadap terpidana pembunuhan aktivis HAM Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto, sesuai dengan ketentuan dan hak yang dimilikinya.
"Itu sudah memenuhi ketentuan. Jadi, kita juga jangan menghalangi hak asasi orang lain. Jadi, warga binaan itu juga punya hak asasi. Sepanjang ini kan sudah 2/3 masa hukuman, bahkan seharusnya,  jauh sebelumnya dia sudah berhak," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (30/11).
Pollycarpus dibebaskan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (29/11). Pollycarpus dihukum 14 tahun penjara dan telah menjalani delapan tahun. Pembebasan bersyarat Pollycarpus mengundang kritik dan penolakan dari para aktivis HAM.
Ia mengatakan, pemberian bebas bersyarat dilakukan setelah dinilai remisinya, perbuatannya, kelakuannya, sampai dengan masa hukumannya.
"Itu kami keluarkan, kami tidak punya alasan untuk menunda. Kami di Kemenkumham, filosofinya kan membina, dia punya hak asasi. Dalam UU Pemasyarakatan juga seorang warga binaan punya hak untuk memperoleh kemerdekaan, hak pembebasan bersyarat," katanya.
Yasonna Laoly menambahkan, mengenai perlindungan terhadap HAM-nya, tidak ada yang terlalu hebat. Ia menjelaskan, yang bersangkutan telah menjalani 2/3 masa hukumannya. 
Selain itu, katanya, kasus Pollycarpus tidak masuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/2012 tentang remisi bagi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). "Dia berbeda. Dia tidak tunduk pada PP No. 99, karena ini kriminal biasa, pidana umum, tidak 'extraordinary crime' walaupun menyangkut HAM," katanya.
Untuk itu, dia mengajak para pengkritik kebijakan bebas bersyarat tersebut untuk turut pula menghormati HAM orang lain. "Jadi, ini menurut kami tidak ada masalah. Saya juga mengajak teman-teman dari Komnas HAM, jangan menyamaratakan bahwa pada saat yang sama kita mendukung penegakan HAM, tetapi juga hak-hak orang-orang di dalam itu juga sebagai warga binaan,  'human being' (manusia)," katanya.
Tetap diawasi
Menurut dia, kendati telah mendapatkan pembebasan bersyarat, mantan pilot Garuda Indonesia ini harus tetap melapor secara berkala ke balai permasyarakatan (bapas). "Namanya pembebasan bersyarat, ya bebas tapi dengan syarat. Salah satunya adalah ketika akan berpergian ke luar daerah atau ke luar negeri seperti naik haji atau sakit, harus mendapatkan izin," ujar Kalapas Sukamiskin, Marselina Budiningsih, Minggu (30/11).
Untuk dapat bepergian jauh, Pollycarpus harus mendapatkan izin terlebih dahulu ke bapas. Selain itu, dia juga harus melapor selama satu bulan sekali ke bapas.

"Untuk perinciannya silakan ditanyakan ke bapas. Hanya yang jelas memang ada kewajiban lapor kepada pembimbing dia di bapas," ujar Marselina. 

Sebelumnya, Kasi Bimbingan Klien Dewasa Bapas Kelas I Bandung Kanwil Jabar, Budiana menyatakan, Pollycarpus memang masih terus diawasi. Hal itu terkait dengan statusnya sebagai terpidana yang mendapatkan bebas bersyarat.
"Misalnya, sekarang Pollycarpus ‎ada di Tangerang lalu ‎mau pergi ke Medan. Nah, dia harus memberitahu dulu. Supaya kami tahu ke mana saja dia pergi, karena selama masa PB itu kan dia masih terus diawasi," jelasnya.

Dikecam keras
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), LSM yang dibidani alm Munir, mengecam keras pemberian pembebasan bersayarat tersebut.
"Kontras mengecam keras pemberian pembebasan bersyarat terhadap Pollycarpus, pelaku pembunuhan aktivis HAM Munir. Kami menilai, pembebasan bersyarat tersebut merupakan sinyal bahaya terhadap penuntasan kasus pembunuhan Munir," kata Kepala Divisi Pembelaan Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia, Minggu (30/11).

Menurut dia,  ketiadaan komitmen atas penuntasan kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan keadilan korban tercermin jelas dalam pemberian pembebasan bersyarat tersebut. Pasalnya,  Kemenkumham melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: W11.PK.01.05.06-0028 tahun 2014 hanya melihat dari aspek yuridis pemberian hak narapidana semata.
"Yaitu berupa hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat tanpa melihat sejauh mana penuntasan kasus pembunuhan Munir yang hingga kini penyelesaiannya belum sampai menyeret otak pelaku pembunuhan ke meja hijau. Padahal, dalam laporan TPF disebutkan, kejahatan ini sistematis," kata Putri.

Selain itu, Putri menilai, MA dalam kasus Pollycarpus cenderung sebagai mesin penghapus dosa melalui putusan PK yang dua kali. Hal ini menunjukkan kamar pidana MA tidak jeli melihat kasus Munir dan asal memproses.
"Hal ini juga menunjukkan antarhakim tidak ada posisi yang jelas dalam kasus Munir. Putusan-putusan PK Pollycarpus pun tidak ada dalam website mereka. Ini indikasi ada yang disembunyikan," kata Putri. (/dtc)

Share this video :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. POTRET KARAWANG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger