ORANG Sunda yang menghuni bagian barat Pulau Jawa sudah secara dini mengenal aksara. Prasasti-prasasti dinasti Tarumanagara yang diketemukan, ditarikhkan berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta. Lama-kelamaan kemudian orang-orang Sunda pun menuliskan karya sastra mereka menggunakan bahasa Sunda kuna. Begitu kiranya menurut Mulyana SA, sastrawan Sunda Karawang.
“Secara historis, antara bagian barat pulau Jawa, tempat tinggal suku Sunda dan bagian timur, tempat tinggal suku Jawa yang sejati, sejak zaman dahulu kala sudah terjadi hubungan secara intensif,” katanya, belum lama ini, kepada Spirit Karawang .
Sebenarnya, lanjut dia, batas timur budaya Sunda pada abad ke-5 Masehi diperkirakan berada kurang lebih di garis antara daerah yang sekarang disebut Kendal dan Dieng dan sekarang terletak di Provinsi Jawa Tengah.
“Namun berkat ekspansi suku bangsa Jawa menuju ke barat, perbatasan antara budaya Sunda dan budaya Jawa berada lebih ke barat yaitu di sekitar Indramayu, Cirebon sampai ke Cilacap. Kemudian ada pula beberapa enklave di Jawa, terutama di Banten dan beberapa desa di Karawang,” ujar lelaki yang akrab disapa Ki Sunda Sawawa tersebut.
Menurut penulis buku “Janda Tekdung” ini, pengaruh-pengaruh budaya Jawa, katanya, juga sudah terlihat dalam karya-karya sastra Sunda Kuna. Ditemukan ada beberapa kata-kata serapan dari bahasa Jawa (Kuna) dan beberapa karya sastra Jawa Kuna banyak pula yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Sunda Kuna. Bahkan naskah tertua sastra Jawa Kuna berasal dari daerah Sunda di Jawa Barat.
“Misalkan naskah kakawin Arjunawiwaha yang tertua dan sekaligus naskah lontar tertua pula berasal dari daerah sekitar Bandung. Naskah ini sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan bertarikhkan tahun 1334 Masehi. Selain Arjunawiwaha masih ada karya-karya sastra Jawa Kuna yang berasal dari daerah Sunda, seperti Kunjarakarna,” katanya.
Namun setelah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa serta ekspansi kerajaan Mataram II yang dipimpin oleh Sultan Agung pada abad ke-16, kesusastraan Sunda mulai meredup. Sultan Agung ingin mempersatukan Pulau Jawa dan sekitarnya dalam kerangka negara Kesatuan Mataram.
“Meski hegemoni Mataram atas Jawa Barat berakhir pada tahun 1705, pengaruh budaya Jawa tidaklah berakhir, justru malah diperkuat dengan ditetapkannya Bahasa Jawa sebagai bahasa resmi pemerintahan di Jawa Barat dan diputuskannya pemakaian sistem pembagian administratif Jawa. Pembagian administratif model Jawa ini adalah pembagian daerah kepada kabupaten-kabupaten yang berbeda-beda,” ucapnya.
Barulah pada pertengahan abad ke-19, masih kata dia, Bahasa Sunda mulai dipergunakan lagi untuk menulis. Hal itu menyusul meulai pudarnya pengaruh Mataram dan menguatnya pengaruh pemerintahan Hindia-Belanda.
“Bahkan pemerintah kolonial justru yang menggalakkan pemakaian bahasa Sunda dalam medium tertulis. Pemerintah koloni kala itu ingin meneliti budaya Sunda secara lebih mendalam,” pungkasnya.(muh)
Posting Komentar