Een Nurhasanah, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Unsika

Pakai Sepatuku!


“Dulu, pada zaman Aristoteles, karya sastra itu disejajarkan dengan kitab suci. Ia (karya sastra) seperti tuntunan hidup”

BISA jadi, jika dikomparatifkan dengan zaman sekarang, apa yang disampaikan Een Nurhasanah (30) di atas ibarat beroase di luasnya hamparan padang pasir yang gersang. Karya sastra, dewasa ini, sudah mengalami penyempitan fungsi.

“Karya sastra tidak lagi menjadi tuntunan hidup. Ia (karya sastra) hanya menjadi hiburan saja sekarang,” katanya ketika disambangi Spirit Karawang di ruang kerjanya, Rabu (12/11).

Menurut hemat dia, adalah wajar jika karya sastra kedudukannya disejajarkan dengan kitab suci. Itu lantaran fungsi krusial sastra yang tidak boleh disepelekan begitu saja. Bahkan, kitab suci umat Islam pun, dalam menyampaikan nilai-nilai kehidupan menggunakan media sastra. 

“Coba bayangkan kalau tidak ada sastra, tidak ada tulisan, dan tidak ada bacaan. Kita mau belajar dari mana?” tanyanya retoris.

Dalam konteks lebih luas, menurut Een, sastra dihasilkan oleh kebudayaan dalam sebuah peradaban. Kebudayaan tidak bisa terlepas dengan tulisan-tulisan atau manuskrip-manuskrip. Karena menurut dia, kedua unsur itu saling terkait. 

“Pada akhirnya sastra akan merembet ke tradisi lisan. Tradisi lisan itulah yang membentuk suatu kearifan lokal. Intinya sih sastra adalah media untuk mengekspresikan ide, gagasan dan kreatifitas. Itulah sastra,” ucap wanita berhijab itu.

Een pun kemudian menyoroti “nasib” sastra Indonesia di tengah-tengah menggaungnya bahasa gaul dan alay. Menurutnya, inferioritas sastra Indonesia tidak terlepas dari teori pengajaran di setiap lembaga pendidikan, khususnya di sekolahan.

“Tenaga pengajar atau guru belum bisa berinteraksi secara langsung dengan murid jika sedang menerangkan tentang sastra Indonesia. Inilah yang tidak bisa menarik atensi murid, sekaligus menjadikan peminat satra Indonesia makin sedikit,” kata perempuan lulusan S2 Universitas Malaya (UM) itu.

Een mencontohkan, jika pada satu kesempatan guru menerangkan tentang puisi, guru hanya menjelaskan secara teori saja, tanpa mempraktekkan bagaimana pembacaan sebuah puisi yang baik dan benar. “Tidak ada guru yang langsung mempraktekkannya. Begitu pun dengan pelajaran drama. Drama juga tidak terepas dari sastra karena di sana ada naskah. Nah, si guru seringnya hanya menyuruh murid untuk latihan drama, tanpa dia ikut ‘nimbrung’.”

Pengajaran yang cuma bersifat teori itulah, tambah Een, yang kemudian tidak ada interaksi emosional antara guru dengan murid. Alhasil, keluh Een, sastra Indonesia pun akan semakin diketepikan oleh generasi muda jika memang metode seperti itu terus dipertahankan.

Namun, untuk di Karawang, ia memiliki niat untuk menggiatkan lagi semangat untuk bersastra. Hal itu akan diperjuangkannya bersama orang-orang atau lembaga-lembaga yang dirasa bisa diajak kerja sama.

“Saya ingin mengadakan pementasan puisi dan drama. Itu juga kan bagian sastra. Jujur, saya tidak bisa berjalan sendiri. Saya perlu rekan,” katanya.

 Karawang-Malasia
Dalam satu tulisannya, Een bercerita:
Ketika kita sukses, terkadang orang tidak mengetahui atau bahkan tidak mau tahu. Yang mereka tahu atau yang mereka bisa hanya mencibir dan akan selalu mencari kekurangan kita. Sejak SD kita sudah belajar moral, bagaimana cara menghormati sesama. Setelah dewasa kita lupa, kadang kita lupa menghormati pilihan orang lain dalam menjalani hidup. Mereka enggan menilai diri mereka sendiri, mereka sibuk menilai kekurangan orang lain, bahkan mereka tidak sadar telah kelewat batas menilai orang lain tanpa mengetahui orang yang dinilainya. Kita terlalu nyaman memakai sepatu kita sendiri, ketika kita melihat sepatu orang lain lebih mengkilap dan lebih bagus, kita langsung menilai macam-macam. Maka mulailah belajar memakai sepatuku kawan, maka kau akan tahu jalan mana saja yamg telah aku lewati. Dan biarkan mata dan hatimu menilai sendiri.

Di akhir tulisannya, ada satu kalimat menarik, yaitu: maka mulailah belajar memakai sepatuku kawan, maka kau akan tahu jalan mana saja yamg telah aku lewati. Kalimat tersebut sangat mempresentasikan kisah hidup Een sendiri – sebuah perjalanan “sepatu” yang ia injak untuk menapaki “trotoar” kehidupan.

Een yang dibesarkan dalam keluarga sederhana di sebuah kota bernama Karawang, ternyata berhasil melenggang ke banyak daerah ketika ia besar. Perjalanannya itu tidak sekedar “bertamasya”. Ia menapaki kota demi kota untuk belajar.

“Saya SD sampai SMP di Karawang. Lalu SMA di Jawa Tengah, namun lulusnya di Purwakarta. Hehe .. Kemudian S1 Bahasa saya di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung. Dari UPI saya terbang ke Malaysia dan mendapatkan S2 Drama Asia di UM (Universitas Malaya). Sekarang saya sedang bikin disertasi untuk S3 di UPI,” ceritanya.

Juga tidak sedikit pengalaman dan prestasi di bidang sastra dan kesenian yang telah Een raih. Berawal dari keikutsertaannya di grup teater sewaktu SMP (1998-1999), kemudian aktris dalam Dago Festival di Bandung (2003), dan sampai menjadi sutradara untuk naskah “Petang di Taman” di UPI Bandung (2004).

“Waktu itu saya menjadi sutradara terbaik,” kisahnya.

Di Malaysia pun ia menorehkan prestasi. Ia sering mengadakan pementasan-pementasan, seperti pembaca puisi di Kuala Lumpur dalam acara “Malam Kesenian Indonesia” dan pembaca puisi di Kuala Lumpur dalam acara “Donation for Palestine”. Ia juga sering menjadi pembicara dalam berbagai seminar, baik di domestik, maupun di mancanegara.

“Ya itulah kisah hidup saya. Sampai akhirnya menjabat sebagai Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Unsika,” pungkasnya.(gus muhammad ar/spirit karawang)

Share this video :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. POTRET KARAWANG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger