KARAWANG, Spirit
Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 akan berlaku. Saat itu Negara anggota ASEAN akan memiliki sistem yang dapat memantau pergerakan barang dalam perjalanannya ke negara-negara ASEAN.
Tidak hanya itu, izin barang ekspor pun akan lebih cepat sehingga akan menghemat waktu dan biaya ekspor.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan.
Artinya pada saat itu Indonesia harus mampu bersaing dengan sesama negara anggota ASEAN dalam perdagangan barang dan jasa mengingat saat itu tak ada batasa lagi yang menghambat.
Namun demikian pertanyaannya adalah bagi Indonesia MEA merupakan peluang dan atau hambatan? "Tak ada pilihan lagi bahwa Indonesia harus mampu bersaing dengan sesama anggota ASEAN jika ingin eksis di kancah perdagangan regional dan global," kata Menteri Perindustrian Mohamad S Hidayat saat membuka Seminar Nasional Pembenahan Sistem Logistik Nasional yang diadakan Perum LKBN Antara di Jakarta, Rabu.
Mengingat pelaksanaan MEA akan dilaksanakan oleh pemerintah mendatang (Joko Widodo-Jusuf Kalla) maka diminta membenahi logistik maupun infrastruktur nasional yang saat ini masih jalan ditempat serta tidak alami perkembangan berarti.
"Jangan sampai nanti telat dan saling menyalahkan antara dunia usaha dan pemerintah. Pemerintah mendatang hendaknya menyiapkan dengan biak," kata Hidayat.
Hidayat mengatakan, semua negara ASEAN saat ini sudah mempersiapkan dengan baik masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 antara lain dengan membangun jaringan logistik dan infrastruktur sehingga pada saat itu semua jalur perdagangan dan industri tak ada batasanya lagi.
Indonesia, kata Hidayat, saat ini masih belum mampu mengimbangi kesiapan dan kemajuan logistik dari sesama ASEAN, khususnya Singapura dan Malaysia. "Namun demikian hal itu bukan berarti kita tidak siap menghadapi MEA karena kita selama ini terus melakukan upaya perbaikan," kata Hidayat.
Dia mengatakan, pemerintahan mendatang hendaknya mau secara serius memperhatikan pesraingan tersebut antara lain dengan membenahi sistem logistik dan infrastruktur sehingga pada saatnya nanti Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara lain.
"Nanti semua negara ASEAN pada berburu memasuki dan merebutkan pasar di kawasan itu. Indonesia harus siap dan mempersiapkan dengan baik. Pemerintahan mendatang saya yakin pasti akan siap," kata Hidayat.
Jalur Rel ganda KA Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengatakan, salah satu langkah yang telah diambil pemerintah adalah pembangunan jalur ganda kereta api di Pulau Jawa yang akan terus ditingkatkan dalam upaya untuk mengurangi beban angkutan jalan raya yang saat ini sangat padat disamping meningkatkan efisiensi.
"Untuk jalur ganda kereta api utara Pulau Jawa pembangunan hampir selesai namun untuk jalur selatan di Jawa masih belum seluruhnya dibangun. Kami tentunya berharap pemerintahan mendatang bisa menyelesaikan," kata Bambang.
Menurutnya, pembangunan jalur ganda kereta api di utara dan selatan Jawa dinilai sangat penting dan strategis mengingat 60 persen perekonomian nasional masih bertumpu di Jawa sehingga mau tak mau serta siap tak siap, pemerintahan mendatang harus membangun jalur kereta api tersebut.
Untuk jalut ganda kereta api di Pantura yang menghubungkan Jakarta-Surabaya, katanya, saat ini sudah selesai pembangunan relnya sehingga jarak tempuh kereta api yang menghubungkan dua kota itu relatif lebih cepat.
"Dari hasil pembicaraan saya dengan sejumlah bupati di Pulau Jawa bagian utara, adanya pembangunan rel ganda itu menghidupkan perekonomian wilayah itu seperti pariwisata dan investasi," kata Bambang.
Khusus untuk jalur ganda kereta api di selatan Jawa menghubungkan Jakarta-Surabaya, katanya, saat ini yang jalur ganda masih terbatas, yaitu Kutuarjo-Solo.
Jalan darat Pantura, katanya, saat ini sudah melebihi beban mengingat hampir 90 persen angkutan darat melalui jalur tersebut sehingga rawan kemacetan yang pada akhirnya menyebabkan tidak efisien.
"Belum lagi kalau jelang Lebaran tiba, jalur tersebut alami kemacetan luar biasa sehingga kereta api menjadi alternatif yang sangat tepat," katanya.
Saat ini, kata Bambang, jalur kereta api di Pantura sudah menjadi pilihan utama bagi dunia usaha karena dinilai lebih efisien dan lebih tepat waktu tiba ditujuan.
"Pilihan angkutan sebenarnya bukan saja menggunakan kereta api tapi angkutan laut juga bisa jadi pilihan di saat angkutan jalan raya sudah kian padat," katanya.
Ditambahkan Bambang, konektivitas domestik atau antar-wilayah dalam negeri juga jadi prioritas menyongsong era MEA 2015.
"Konektivitas domestik seperti dari Pulau Jawa ke Sumatera harus lebih baik dibanding konektivitas Sumatera dengan Malaysia," katanya.
Ia mengatakan MEA salah satunya diwujudkan melalui peningkatan konektivitas antara negara ASEAN yang tertuang dalam Rencana Induk ASEAN atau "Master Plan ASEAN Connectivity" (MPAC).
Dalam rencana induk tersebut diprogramkan pembangunan jaringan "ferry roll-on/roll-off" (Ro-Ro). Termasuk pengembangan 42 pelabuhan prioritas di ASEAN, di mana 12 pelabuhan ada di Indonesia. Dia mengatakan konektivitas domestik yang kuat akan meningkatkan daya saing Indonesia di ASEAN.
Jejaring konektivitas fisik seperti jalan, kereta api, jalur pelayaran, jalur penerbangan ataupun ferry penyeberangan, harus mampu memfasilitasi pergerakan barang dan orang di seluruh wilayah Nusantara.
"Mulai dari konektivitas dalam pulau, antar-pulau dan internasional harus sejalan," tambahnya.
Konektivitas dalam pulau didukung oleh perpaduan antara angkutan jalan raya dan angkutan perkeretaapian.
Sedangkan sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih 13.000 pulau menyebar di khatulistiwa, terbentang sepanjang 5.253 kilometer dari Timur ke Barat, angkutan laut dan penyeberangan memainkan peran penting dalam memperkuat konektivitas domestik antar pulau.
Perpaduan jejaring jalan, kereta api, feri penyeberangan, jejaring rute pelayaran, dan "short sea shipping" akan membentuk jaringan "nautical freeway" yang menjadi kunci konektivitas Indonesia dan sekaligus akan berpengaruh pada konektivitas ASEAN.
Pelabuhan laut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jalur Prioritas I Made Dana M. Tangkas, mengatakan salah satu masalah yang dihadapi pengusaha untuk meningkatkan efisiensi terutama produk ekspor adalah mahalnya biaya yang dikeluarkan saat menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
"Lokasi yang jauh serta kemacetan yang parah menyebabkan biaya tinggi sehingga menimbulkan biaya tinggi dan tidak efisien," katanya.
Oleh sebab itu pihaknya sangat mendukung rencana pemerintah yang ingin membangun Pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, yang nantinya selain digunakan sebagai pelabuhan antar pulau juga sekaligus sebagai pusat kegiatan ekspor.
Ia mengatakan banyak keuntungan diperoleh jika kegiatan ekspor-impor dilakukan di Cilamaya, mengingat lokasi yang berdekatan dengan wilayah industri yang ada di timur Jakarta.
"Saat ini setidaknya lebih 2.700 perusahaan berada di timur Jakarta. Jika dihitung jarak perjalanan ke Tanjung Priok maka akan lebih dekat ke Cilamaya," kata Made.
Menurutnya, dari Pusat Industri Karawang untuk menuju Pelabuhan Tanjung Priok memerlukan jarak 47 kilometer, namun jika menuju Cilamaya hanya 30 kilometer sehingga bisa menghemat 17 kilometer.
Demikian juga waktu tempuh jika menuju Tanjung Priok memakan waktu 6,3 jam tapi ke Cilamaya hanya dua jam. Karena jarak tempuh yang lebih singkat, katanya, maka dalam sehari bisa dilakukan empat perjalanan per hari menuju Cilamaya, sementara ke Priok hanya satu perjalanan sehari.
Sementara biaya logistik per perjalanan juga bisa lebih hemat jika ke Cilamaya, yaitu hanya Rp1,52 juta sementara ke Tanjung Priok Rp2,1 juta.
"Jika dihitung per tahun maka biaya pengiriman logistik ke Cilamaya hanya Rp36 miliar, sementara ke Priok bisa Rp56,3 miliar atau terjadi penghematan Rp20 miliar per tahun," kata Made. (Red)
Tidak hanya itu, izin barang ekspor pun akan lebih cepat sehingga akan menghemat waktu dan biaya ekspor.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan.
Artinya pada saat itu Indonesia harus mampu bersaing dengan sesama negara anggota ASEAN dalam perdagangan barang dan jasa mengingat saat itu tak ada batasa lagi yang menghambat.
Namun demikian pertanyaannya adalah bagi Indonesia MEA merupakan peluang dan atau hambatan? "Tak ada pilihan lagi bahwa Indonesia harus mampu bersaing dengan sesama anggota ASEAN jika ingin eksis di kancah perdagangan regional dan global," kata Menteri Perindustrian Mohamad S Hidayat saat membuka Seminar Nasional Pembenahan Sistem Logistik Nasional yang diadakan Perum LKBN Antara di Jakarta, Rabu.
Mengingat pelaksanaan MEA akan dilaksanakan oleh pemerintah mendatang (Joko Widodo-Jusuf Kalla) maka diminta membenahi logistik maupun infrastruktur nasional yang saat ini masih jalan ditempat serta tidak alami perkembangan berarti.
"Jangan sampai nanti telat dan saling menyalahkan antara dunia usaha dan pemerintah. Pemerintah mendatang hendaknya menyiapkan dengan biak," kata Hidayat.
Hidayat mengatakan, semua negara ASEAN saat ini sudah mempersiapkan dengan baik masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 antara lain dengan membangun jaringan logistik dan infrastruktur sehingga pada saat itu semua jalur perdagangan dan industri tak ada batasanya lagi.
Indonesia, kata Hidayat, saat ini masih belum mampu mengimbangi kesiapan dan kemajuan logistik dari sesama ASEAN, khususnya Singapura dan Malaysia. "Namun demikian hal itu bukan berarti kita tidak siap menghadapi MEA karena kita selama ini terus melakukan upaya perbaikan," kata Hidayat.
Dia mengatakan, pemerintahan mendatang hendaknya mau secara serius memperhatikan pesraingan tersebut antara lain dengan membenahi sistem logistik dan infrastruktur sehingga pada saatnya nanti Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara lain.
"Nanti semua negara ASEAN pada berburu memasuki dan merebutkan pasar di kawasan itu. Indonesia harus siap dan mempersiapkan dengan baik. Pemerintahan mendatang saya yakin pasti akan siap," kata Hidayat.
Jalur Rel ganda KA Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengatakan, salah satu langkah yang telah diambil pemerintah adalah pembangunan jalur ganda kereta api di Pulau Jawa yang akan terus ditingkatkan dalam upaya untuk mengurangi beban angkutan jalan raya yang saat ini sangat padat disamping meningkatkan efisiensi.
"Untuk jalur ganda kereta api utara Pulau Jawa pembangunan hampir selesai namun untuk jalur selatan di Jawa masih belum seluruhnya dibangun. Kami tentunya berharap pemerintahan mendatang bisa menyelesaikan," kata Bambang.
Menurutnya, pembangunan jalur ganda kereta api di utara dan selatan Jawa dinilai sangat penting dan strategis mengingat 60 persen perekonomian nasional masih bertumpu di Jawa sehingga mau tak mau serta siap tak siap, pemerintahan mendatang harus membangun jalur kereta api tersebut.
Untuk jalut ganda kereta api di Pantura yang menghubungkan Jakarta-Surabaya, katanya, saat ini sudah selesai pembangunan relnya sehingga jarak tempuh kereta api yang menghubungkan dua kota itu relatif lebih cepat.
"Dari hasil pembicaraan saya dengan sejumlah bupati di Pulau Jawa bagian utara, adanya pembangunan rel ganda itu menghidupkan perekonomian wilayah itu seperti pariwisata dan investasi," kata Bambang.
Khusus untuk jalur ganda kereta api di selatan Jawa menghubungkan Jakarta-Surabaya, katanya, saat ini yang jalur ganda masih terbatas, yaitu Kutuarjo-Solo.
Jalan darat Pantura, katanya, saat ini sudah melebihi beban mengingat hampir 90 persen angkutan darat melalui jalur tersebut sehingga rawan kemacetan yang pada akhirnya menyebabkan tidak efisien.
"Belum lagi kalau jelang Lebaran tiba, jalur tersebut alami kemacetan luar biasa sehingga kereta api menjadi alternatif yang sangat tepat," katanya.
Saat ini, kata Bambang, jalur kereta api di Pantura sudah menjadi pilihan utama bagi dunia usaha karena dinilai lebih efisien dan lebih tepat waktu tiba ditujuan.
"Pilihan angkutan sebenarnya bukan saja menggunakan kereta api tapi angkutan laut juga bisa jadi pilihan di saat angkutan jalan raya sudah kian padat," katanya.
Ditambahkan Bambang, konektivitas domestik atau antar-wilayah dalam negeri juga jadi prioritas menyongsong era MEA 2015.
"Konektivitas domestik seperti dari Pulau Jawa ke Sumatera harus lebih baik dibanding konektivitas Sumatera dengan Malaysia," katanya.
Ia mengatakan MEA salah satunya diwujudkan melalui peningkatan konektivitas antara negara ASEAN yang tertuang dalam Rencana Induk ASEAN atau "Master Plan ASEAN Connectivity" (MPAC).
Dalam rencana induk tersebut diprogramkan pembangunan jaringan "ferry roll-on/roll-off" (Ro-Ro). Termasuk pengembangan 42 pelabuhan prioritas di ASEAN, di mana 12 pelabuhan ada di Indonesia. Dia mengatakan konektivitas domestik yang kuat akan meningkatkan daya saing Indonesia di ASEAN.
Jejaring konektivitas fisik seperti jalan, kereta api, jalur pelayaran, jalur penerbangan ataupun ferry penyeberangan, harus mampu memfasilitasi pergerakan barang dan orang di seluruh wilayah Nusantara.
"Mulai dari konektivitas dalam pulau, antar-pulau dan internasional harus sejalan," tambahnya.
Konektivitas dalam pulau didukung oleh perpaduan antara angkutan jalan raya dan angkutan perkeretaapian.
Sedangkan sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih 13.000 pulau menyebar di khatulistiwa, terbentang sepanjang 5.253 kilometer dari Timur ke Barat, angkutan laut dan penyeberangan memainkan peran penting dalam memperkuat konektivitas domestik antar pulau.
Perpaduan jejaring jalan, kereta api, feri penyeberangan, jejaring rute pelayaran, dan "short sea shipping" akan membentuk jaringan "nautical freeway" yang menjadi kunci konektivitas Indonesia dan sekaligus akan berpengaruh pada konektivitas ASEAN.
Pelabuhan laut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jalur Prioritas I Made Dana M. Tangkas, mengatakan salah satu masalah yang dihadapi pengusaha untuk meningkatkan efisiensi terutama produk ekspor adalah mahalnya biaya yang dikeluarkan saat menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
"Lokasi yang jauh serta kemacetan yang parah menyebabkan biaya tinggi sehingga menimbulkan biaya tinggi dan tidak efisien," katanya.
Oleh sebab itu pihaknya sangat mendukung rencana pemerintah yang ingin membangun Pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, yang nantinya selain digunakan sebagai pelabuhan antar pulau juga sekaligus sebagai pusat kegiatan ekspor.
Ia mengatakan banyak keuntungan diperoleh jika kegiatan ekspor-impor dilakukan di Cilamaya, mengingat lokasi yang berdekatan dengan wilayah industri yang ada di timur Jakarta.
"Saat ini setidaknya lebih 2.700 perusahaan berada di timur Jakarta. Jika dihitung jarak perjalanan ke Tanjung Priok maka akan lebih dekat ke Cilamaya," kata Made.
Menurutnya, dari Pusat Industri Karawang untuk menuju Pelabuhan Tanjung Priok memerlukan jarak 47 kilometer, namun jika menuju Cilamaya hanya 30 kilometer sehingga bisa menghemat 17 kilometer.
Demikian juga waktu tempuh jika menuju Tanjung Priok memakan waktu 6,3 jam tapi ke Cilamaya hanya dua jam. Karena jarak tempuh yang lebih singkat, katanya, maka dalam sehari bisa dilakukan empat perjalanan per hari menuju Cilamaya, sementara ke Priok hanya satu perjalanan sehari.
Sementara biaya logistik per perjalanan juga bisa lebih hemat jika ke Cilamaya, yaitu hanya Rp1,52 juta sementara ke Tanjung Priok Rp2,1 juta.
"Jika dihitung per tahun maka biaya pengiriman logistik ke Cilamaya hanya Rp36 miliar, sementara ke Priok bisa Rp56,3 miliar atau terjadi penghematan Rp20 miliar per tahun," kata Made. (Red)
Posting Komentar