KARAWANG, Spirit
Adanya Lembar Kerja Siswa (LKS) produk penerbit dan Bimbingan Belajar (Bimbel) luar sekolah yang kian hari kian menjamur menemani siswa belajar, dinilai mantan Kepala SMAN 3 Karawang yang sekarang menjabat sebagai Pengawas SMA, Nedi Rohendi, M.Pd., telah merusak tatanan kurikulum 2013. Hal itu disampaikannya kepada Spirit Karawang seusai menghadiri pembukaan workshop MGMP SMA/SMK di gedung PGRI Cabang Karawang, Senin (17/11).
Dikatakan Nedi, LKS yang produk dari penerbit hanya akan membuat guru malas membuat soal dan mengajarkan siswa secara instan tanpa melibatkan proses yang berkesinambungan. Selain itu, lanjutnya, terkadang materi LKS produk penerbit banyak yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi pembelajaran di suatu sekolah.
“Tiap sekolah biasanya berbeda kondisinya, baik dari karakter dan psikologi siswanya maupun adat-istiadat lingkungan sekolah itu berada,” ucapnya.
Selain permasalahan yang Nedi sebutkan di atas, dia pun mencontohkan kasus yang sempat mencoreng dunia pendidikan akibat LKS, yakni adanya istilah istri simpanan yang disebutkan dalam suatu LKS produk penerbit, sehingga menimbulkan kehebohan di kalangan orang tua siswa, bahkan di kalangan pejabat dinas pendidikan.
Di samping LKS, kata dia, lembaga bimbel pun dianggapnya sebangai merusak tatanan kurtilas. Pasalnya, bimbel yang berada di luar lingkungan sekolah selalu menonjolkan kelebihan mereka dalam menyelesaikan soal-soal secara praktis dan instan, sehingga mengabaikan proses dalam menyelesaikan soal tersebut.
“Dengan adanya sikap praktis dna instan siswa dalam menyelesaikan soal karena belajar bimbel membuat perpustakaan sekolah sepi dikunjungi siswa,” keluhnya.
Menurut Nedi, sikap praktis dan instan dalam menyelesaikan soal yang dijual dunia bimbel membuat pelajar mengalami ketergantungan yang akut, karena anak dicekoki dengan rumus, teori dan hafalan serta penyelesaian soal dengan instan tanpa harus mengetahui prosesnya. Selain itu, tidak jarang ditemui siswa pintar dalam menghafal rumus dan mahir menjawab soal secara instan tanpa mengerti secara mendalam ilmu yang dipelajarinya sampai ke tahap aplikasi.
“Para siswa sudah tergantung pada cara-cara instan bukan lagi gemar berpikir,” tandasnya.
Kendati demikian, bukan berarti Nedi menolak bimbel secara totalitas. Nedi menilai bimbel itu cocok untuk siswa kelas XII yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi, karena pada saat siswa mengikuti seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) kecepatan mengerjakan soal dengan benar sangat diperlukan.
“Untuk siswa dibawah kelas XII sebaiknya jangan diikutsertakan bimbel, karena dalam kurtilas yang dipentingkan adalah sikap dan proses dalam pembelajaran,” pungkasnya. (tif).
Posting Komentar