Semestinya anak seusia Cahyo (14) dan Malik (14) siswa kelas dua di suatu SMP di Kecamatan Kotabaru, merasakan masa-masa bermain dan belajar dengan riangnya. Namun, kesulitan ekonomi yang melilit kedua orang tuanya ternyata telah merenggut kebebasan bermain mereka. Akibat kegetiran hidup, mereka berdua terpaksa menjadi kuli angkat batu bata.
Menurut Cahyo, siswa yang berasal kampung Krajan, Desa Wancimekar, Kecamatan Kotabaru, terkadang dia tiap hari harus mengeluarkan tenaga serta keringatnya di dua tempat usaha berbeda, yakni di percetakan batu bata dan di suatu home industri produk topi yang dekat dengan tempat tinggalnya. Hal itu dilakukan Cahyo demi mendapkan sedikit upah untuk bisa jajan dan membeli buku di sekolah.
“Asal saya bisa jajan dan bisa beli buku sekolah, saya rela jadi kuli kang,” ucapnya.
Ditempat berbeda, Pemilik Usaha Batu Bata, Ujang (42) menyatakan, dia merasa sedih dan prihatin dengan kondisi adanya anak yang masihb bersekolah, tetapi sudah harus merasakan penderitaan hidup dengan cara mencari uang sendiri agar bisa jajan dan membeli buku sekolah. Diakui Ujang, sebenarnya dia merasa tidak tega untuk memperkerjakan anak seusia Cahyo, tetapi karena Cahyo yang mendesak agar diterima bekerja, dia pun tidak melarangnya.
“ternyata pendidikan gratis hanya tong kosong yang nyaring bunyinya,” ucapnya sambil mengelus dada.
Karena pada kenyataannya, lanjut Ujang, masih banyak biaya sekolah yang harus dikeluarkan siswa, diantaranya membeli buku paket, LKS, biaya ekskul dan biaya lainnya yang cukup memberatkan orang tua siswa. Dengan banyaknya pengeluaran untuk kebutuhan sekolah, kata dia, menyebabkan banyak orang tua siswa tidak sanggup melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang SLTA
“Karena faktor biaya, banyak anak kampung yang tidak melanjutkan sekolahnya. Ya paling tidak mereka hanya sanggup sampai jenjang SMP saja,” imbuhnya
Sementara itu, pekerja angkut batu bata lainnya, Malik (14), menambahkan, saat ini biaya SPP sekolah memang sudah gratis, tetapi untuk bekal serta membeli buku sekolah, tetap saja harus membayar. Oleh sebab itu, untuk bisa memenuhi kebutuhan biaya lainnya, Malik bekerja sebagai kuli bongkar batu bata. Hal itu terpaksa dia lakukan mengingat ekonomi kedua orang tuanya yang serba kekurangan.
“Bagi saya pekerjaan bongkar batu bata sudah terbiasa, kang,” lirihnya.
Dikatakan Malik, pekerjaan ayahnya hanya sebagai kuli menjahit, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah yang cukup besar, lanjut Malik, tidak pernah mencukupi. Hal tersebut telah memaksa dirinya untuk mencari uang tambahan, guna bisa memenuhi kebutuhan sekolahnya, meski terkadang jarang tertutupi.
“ Ya lumayanlah buat bekal dan beli buku mah ada, itupun kalau ada yang memanggil untuk ngoper bata. Ya kalau tidak ada pekerjaan, saya tidak punya bekal buat sekolah,” pungkasnya. (tif)
Posting Komentar