Sampah Bisa untuk Listrik
KARAWANG, Spirit
Pengelolaan sampah untuk wilayah sebesar Karawang sudah semestinya menggunakan cara-cara yang baik dan ramah lingkungan. Sebagaimana perlakuan sampah saat ini baik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwisisir maupun Jalupang, harus sudah ditingkatkan dari open dumping (dibuang secara terbuka) ke alternatif lain menggunakan teknologi tinggi yang produktif.
Hal itu diungkapkan Konsultan Lingkungan Ir Djoko Sugiharto, MBA, ketika dihubungi via telepon, Rabu (8/10). Ia diminta tanggapannya soal pengelolaan sampah di Kabupaten Karawang.
Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Fraksi Gerindra Danu Hamid mendesak Pemerintah Kabupaten Karawang agar dalam pengelolaan sampah menggunakan teknologi. Sementara Asisten II Bidang Pembangunan Setda Karawang Ramon Wibawa Laksana akan mendukung upaya penanganan sampah.
Disebutkan Djoko, metode pengelolaan sampah ada beberapa macam. Antara lain dengan cara open dumping (dibuang dan terbuka), sanitary lanfill (dibuang, setelah ketinggian 2 – 3 meter diratakan, lalu ditutup tanah), komposting (pupuk organik), waste energy (sampah untuk energi).
“Nah, kalau untuk Jalupang saya kira bisa dibuat gasifikasi (dibuat gas) yang out put-nya untuk pembangkit listrik,” kata Djoko.
Dia menjelaskan, untuk menghasilkan energi listrik 4 – 5 MW (mega watt) maka dibutuhkan sampah 350 ton per hari. Hanya saja produksi sampah di Karawang saat ini baru mencapai sekitar 250 ton per hari. Akan tetapi kekurangan 100 ton bisa ditutupi oleh sampah yang sudah tersedia, misalnya yang ada di TPA Jalupang.
Menurut Djoko, jika pengelolaan TPA di Karawang akan dikembangkan dengan teknologi kelistrikan, lebih ideal yang di Jalupang. Tempat pembuangan sampah tersebut selain memiliki lahan luas juga jauh dari pemukiman. Sedangkan TPA Leuwisisir lahannya sudah terbatas dan dekat dengan sungai. Sekarang saja lindi-nya (cairan dari proses pembusukan sampah) sering mencemari sungai.
Dia juga mengungkapkan, teknologi yang bagus dan aman dari sisi lingkungan bisa menggunakan teknologi dari Belgia. Investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi listrik 4-5 MW sekitar Rp 200 miliar. Teknologi itu sudah digunakan antara lain di India dan Malaysia. Hasil pembakaran inserenatornya relatif tidak mengeluarkan asap, sehingga aman bagi lingkungan sekitar.
“Kalau residunya memang ada, tetapi di negara lain bisa dibuat untuk campuran beton,” kata Djoko.
Ketika diminta pendapatnya soal sulitnya menerapkan teknologi pengelolaan sampah dengan teknologi sebagaimana Kota Bandung, menurut Staf Ahli Ketua Kadin Karawang itu, Kota Bandung memang memiliki problemnya sendiri. Ibu Kota Jawa Barat tersebut kebetulan akan menempatkan pengolahan sampahnya di dekat pemukiman penduduk, sehingga diprotes. Selain itu teknologi yang akan dipakai dari Cina, sehingga dalam perlakuannya membutuhkan air 5.000 kubik per hari untuk kebutuhan 1.000 ton sampah per hari.
“Kita bisa bayangkan kebutuhan air sebesar itu dari mana, kalau bukan dari air tanah. Nanti masyarakat protes lagi. Kalau teknologi Belgia tidak membutuhkan air seperti itu,” ujar Djoko, yang juga Wakil Sekretaris Kadin Indonesia Jabar, Komite Singapura .
Belum direspons
Djoko membenarkan, Kadin Indonesia Karawang sekitar dua tahun lalu pernah mendiskusikan pengelolaan sampah dengan teknologi ini bersama Bupati Karawang serta jajaran pejabat terkait. Hanya saja pihak pemerintah daerah belum merespons sepenuhnya.
Masalahnya, menurut dugaan Djoko, Pemda Karawang keberatan tatkala muncul angka sebagai kewajiban pemda untuk tipping fee. Menurut dia, tipping fee adalah biaya yang dikeluarkan dari anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume (m3). Padahal, biaya itu sebagai biaya biasa saja sebagaimana berlaku saat ini yakni mengangkut sampah dari TPS ke TPA. Namun nanti, jika sudah ada pihak ketiga maka biaya pengelolaan sampah di TPA kewajiban investor. Dengan demikian, anggaran pemerintah akan jauh lebih ringan.
“Apalagi pengelolaan waste to energy bisa permanen dan tidak perlu mencari lahan baru. Berbeda dengan sekarang, suatu saat harus pindah. Padahal mencari lahan tidak mudah dan pasti mahal,” kata Djoko.
Dia mengatakan, waste to energy juga tetap akan membantu menyelesaikan masalah sosial seperti pemulung. Pengelola berkemampuan memisahkan sampah bernilai ekonomis non organik, sehingga pemulung tetap bisa turut hidup. Jumlah pemulung di Jalupang kebetulan masih sedikit, berbeda dengan TPA di Surabaya ada sekitar 3000 orang yang hidup dari sampah dan di Bantargebang, Bekasi belasan ribu orang.(kri)








Posting Komentar