LOKOMOTIF itu melaju membelah wilayah Rengasdengklok sampai Lamaran. Kepul asap dari bara yang digarang keluar melalui corong gerbong paling depan untuk menggerakkan mesin uap guna memompa tenaga.
Roda besi pun bergerak bersamaan. Suara dentingan bel (lonceng) terkadang dibunyikan untuk menandakan kereta api (KA) sedang melaju. Hal itu sekaligus memperingati jangan sampai ada yang berani mendekati jalur rel.
KA itu melaju dengan kecepatan tak lebih dari 40-50 kilometer per jam. Membawa hasil pertanian warga desa ke kota. Sementara dari kota, KA itu membawa kayu jati dan garam.
Hal itu sekilas fragmentasi dari kehidupan sosio-ekonomi warga Karawang dalam medio 1918-1970. Ketika itu, transportasi massal berupa KA mulai diperkenalkan.
Menurut Pelestari Budaya dari Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Karawang, Engkos Kosasih, fisik KAbuatan pemerintah kolonial Belanda itu cukup unik. Keunikan itu bisa dilihat dari jumlah gerbong yang tidak pernah lebih dari lima dan di setiap gerbongnya tidak memiliki pintu.
“KA tersebut bikinan pemerintah kolonial Belanda. Sekitar 1918 dibangunnya. KA itu tidak punya pintu,” kata Engkos Kosasih, Rabu (22/10).
Rute KA Karawang-Rengasdengklok sendiri bermula dari Stasiun KA Karawang, ke timur menuju arah Pasar Johar, lalu belok kiri sebelum persimpangan Johar ke arah Lamaran. Di Lamaran itulah jalur Karawang-Rengasdengklok berpisah dengan jalur Karawang-Lemahabang (LA), Wadas.
“Rute yang ke arah Lemahabang Wadas inilah yang cukup panjang, karena dari LA Wadas masih terus berlanjut ke selatan hingga ke Cikampek,” kata Engkos.
Tidak hanya sampai di situ, di Cikampek jalur ini beriringan dengan jalur KA yang ada sekarang (Jakarta-Surabaya), Kotabaru, Pangulah, Jatisari, hingga titik persimpangan Cikalong menuju Cilamaya. Dari titik ini rel berlanjut ke arah utara via Jatiragas.
“Sementara untuk jalur Karawang-Rengasdengklok, KA bertolak dari Lamaran menuju Taneuh Beureum, kemudian Tegal Sawah, Rawaleutik, Rawagede, dan diakhiri di Pasar Rengasdengklok,” ujar Engkos.
Mengatrol perekonomian
Kehidupan yang berporos pada KA itu banyak membantu masyarakat dalam mengatrol perekonomian. KA yang dinilai efesien dan cepat itu bisa mengangkut hasil pertanian, terutama padi, hingga berkuintal-kuintal. Itulah sebabnya banyak pabrik-pabrik padi yang berkembang pesat pada saat itu.
“Seperti pabrik-pabrik yang ada di Lamaran. Mal Ramayana juga dulunya pabrik beras juga itu teh. Di depan Carrefour juga ada pabrik beras yang lumyan besar,” katanya.
Pada 1945, KA itu beralih fungsi menjadi KA penumpang. Itulah fase kebangkrutan perusahaan KAtersebut mulai terendus. Banyaknya penumpang tidak bayar dan mulai berkurangnya hasil bumi yang diangkut, menjadi faktor kerugian menimpa perusahaan.
“Beralihnya fungsi itu bermula ketika ada pelajar yang mengajukan surat ke Jakarta supaya KA di Karawang menjadi moda transportasi penumpang. Hal itu diajukannya sebelum kemerdekaan. Setelah diamini oleh perusahaan KA di Jakarta, KA di Karawang, akhirnya menjadi KA penumpang,” tuturnya.
Pada 1970, akhirnya, perusahaan KA itu resmi bangkrut. KA sudah tidak lagi beroperasi. Sarana dan fasilitas yang tersisa seperti rel, bekas stasiun dibiarkan tidak terurus bertahun tahun. Lama-lama, tangan-tangan jahil mulai mengambil barang-barang milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) tersebut. Mulai dari rel yang bisa mereka gunakan untuk membangun rumah sebagai fondasi dan berbagai macam keperluan lainnya, hingga kayu bantalan rel juga diambil. Tidak ketinggalan, bekas stasiun juga akhirnya menjadi target terakhir yang dirusak. Bahkan, warga juga membangun rumah di atas tanah PT KAI.
“Tersisa pada akhirnya hanya beberapa halte kecil di sejumlah daerah, seperti di Pasir Kembang Wadas, di Krasak Banyusari, dan di Cilamaya. Ada juga eks rel KA di jalan raya Proklamasi (Gang Ojo - Kalangsari ke Rawagede/Kobak Karim),” kata Kosasih. (muh)








Posting Komentar