Ngarojong masyarakat motekar bari teu leupas jeung budaya
MENDORONG masyarakat kreatif tanpa lepas dari budaya adalah arti dari jargon di atas. Tanpa ada kerativitas, manusia akan kering. Juga jika tidak berbudaya, manusia bakal jadi durjana. Maka, kedua elemen itu harus saling bersinergi untuk bisa menciptakan peradaban yang adilhung.
Adalah Saung Beureum, sebuah tempat yang lebih dari sekadar tempat kuliner Sunda, memegang erat nilai dari jargon di atas. Jika kebanyakan tempat kuliner hanya berorientasikan uang, Saung Beureum tidak begitu. Keuntungan dari uang yang didapat, dialirkan oleh tempat kuliner yang beralamat di di Desa Amansari, Kecamatan Rengasdengklok itu, untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Sunda.
“Sesuai sejarahnya, tempat ini memang bukan untuk dijadikan media meraup keuntungan materiil. Dulu, banyak seniman yang ngumpul di sini untuk berkesenian, seperti Mang Askin (maestro seniman topeng banjet daya asmara), Ali Saban danMak Ijem. Oleh karenanya, saya sulap tempat ini menjadi kuliner Sunda,” ujar pemilik Saung Beureum, Herman Elfauzan.
Diubahnya tanah seluas 3000 meter persegi menjadi tempat kuliner Sunda itu bukan tanpa maksud. Herman berpikir, jika setiap harinya per seniman dijatah Rp 50 ribu, maka total dalam sebulan, satu seniman saja harus diberi uang saku Rp 1.500.000.
“Enggak mungkin sanggup saya. Saya bukan konglomerat. Dan konglomerat juga, saya kira enggak bakal sanggup. Bayangkan, pada waktu, tiap harinya ada sekitar 60 seniman yang ngumpul di sini. Harus berapa gepok uang yang saya punya?” ujar lelaki yang kerap dispa Abah Herman itu.
Maka, Herman mendirikan Saung Beureum dengan niatan untuk mengakomodasi para seniman dan budayawan dalam kegiatan mereka. Para seniman itu kerap memperbincangkan kesenian dan kebudayaan Sunda di tempat kuliner yang dibangun pada 2009 itu. Alhasil, Herman pun tidak hanya menyediakan tempat, melainkan juga harus menyediakan kudapan dan minuman supaya mereka betah dalam berkesenian.
“Kang Haji, ngopi atuh. Peurih beuteng (lapar), Kang,” kata Herman menirukan permintaan para seniman.
Pada intinya, Saung Beureum dijadikan “sapi perah” untuk membiayai para seniman dan komunitas-komunitas kesenian di Karawang dan di Rengasdengklok pada khususnya. Beberapa komunitas seni itu, Kis Akar, Karawang Guyub, Kosim, Tegas, Bambu Indah, Tatar Pasundan, Padepokan Surawisesa, dan Sundawani.
“Juga ada komuitas di luar seni budaya, yaitu Redhot (komuntas motor dan SKKS/yayasan). Pokoknya, yang penting anak muda dan masyarakat bisa guyub, Abah mah sudah senang,” katanya.
Secara tidak langsung, Herman mengajarkan kepada masyarakat seni dan umum untuk bisa berdiri sendiri. Mandiri dan berswadaya guna bertahan dari arus globalisasi bukan lagi menjadi pilihan. Tapi keharusan.
“Nu aranjeun, keur aranjeun, mung ti aranjeun. Konsep itu yang harus diperhatikan. Jangan nunggu dibiayai pemerintah. Kalau bisa sendiri kenapa tidak? Kalau cuma nunggu, kita akan cepat tewas oleh tombak lawan. Ingat kebudayaan luar sudah gencar masuk ke negara kita. Jadi jangan tunggu-tunggu lagi kalau ingin bergerak ngamumule kebudayaan,” katanya.
Emosional
Jelas kalau seorang Herman Elfauzan begitu emosional jika bicara perihal seni dan budaya Sunda. Bagaimana tidak, sudah sedari kecil ia dihadapkan pada hal-hal yang berbau kesundaan.
“Saya dulu setiap minggu sering nonton latihan dan pertunjukan tanji. Kebetulan buyut saya yang punya grup tanjinya. Nonton wayang golek juga sampai pagi,” ceritanya.
Selain itu, perjuangan Herman kecil pun untuk bisa berkesenian terbilang berat. Orang tua Herman tidak setuju jika ia terlalu fokus dalam berkesenian. Ia selalu kena damprat sang bapak sehabis menonton pertunjukan atau mengikuti latihan.
“Saya kena marah terus. Kata beliau, jadi seniman itu enggak punya masa depan yang cerah. Bayangkan saja, ketika saya sedang latihan menggambar, abah memarahi saya. Katanya, buat apa menggambar, lebih baik belajar sana!” kata Herman menirukan bapaknya. “Bapak saya mengira kalau menggambar itu bukan belajar,” imbuhnya.
Tapi Herman tetap teguh. Darah yang mengalir di nadinya adalah darah yang kental dengan aroma Sunda, dengan aroma kebudayaan dan kesenian Sunda. Meski dilarang, Herman kecil tetap berhasil untuk “mengelabui” orang tuanya.
“Saya tetap berkesenian. Malah pernah bikin grup qasidah dan teater. Teaternya saya namakan teater Hong,” kisahnya.
Herman mengaku kalau dirinya bukanlah pelaku kesenian murni. Pasalnya, kata dia, dirinya tidak begitu pandai dalam berksenian. “Main musik saja saya hanya tahu memainkannya saja, tidak mahir mainnya.”
Namun begitu, ia bisa mengonsep bagaimana suatu grup kesenian bisa tampil ciamik di hadapan penonton. Ia seringkali peka jika sebuah grup seni salah dalam memainkan harmonisasi pertunjukannya.
“Harusnya begini, harusnya begitu. Ya... saya hanya pandai mengonsep. Mungkin karena basic saya juga seorang arsitek,” katanya.
Herman berharap para seniman jangan lagi skeptis pada kemampuannya. Seniman itu, katanya, bisa kuat karena guyub, bisa hebat karena tidak bergantung.(gus muhammad ar/spirit karawang)
Posting Komentar